Senin, 01 Oktober 2007

Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai

Oleh : Aulia Amri


Tanggal menunjukkan hari ke 28 di bulan Ramadhan. Kami sekeluarga pun bersiap-siap menyambut lebaran. Seperti tahun yang sudah-sudah kami merencanakan pulang ke kampung dihari pertama lebaran. Sudah terbayang wajah ongku dan niniak yang menunggu kedatangan kami di Kampung Halaman. Dan hari yang ditunggu-tunggupun tiba, paginya Sholat Ied, setelah itu langsung bergegas menuju rumah dunsanak dan kerabat yang ada di Jakarta. Malam harinya pukul 23:45 kamipun berangkat menuju Silungkang, hal ini bertujuan biar kami sampai pada siang hari di daerah Lahat yang terkenal dengan perampokan dijalan.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 48 Jam, sampailah kami di Silungkang. Ongku dan niniak menyambut dengan peluk hangat dan kasih sayang. Tak lupa menu kebanggaan urang awakpun telah terhidang di meja makan (jariang batokok). Satu hari berlalu, kami pun sudah diajak ongku menikmati jajanan kuliner yang ada disekitar Silungkang, ada Bubu Samba, sate padang, pisang picak, es tebak, soto di Muaro Kalaban dll. Rasa penat selama 48 jam diperjalanan telah terobati.

Siang itu saya dan Ongku sedang asyik berbicara tentang budaya Silungkang. Banyak hal yang diceritakan Ongku tentang Silungkang, mulai dari jumlah suku di Silungkang, tolak ukur keturunan berdasarkan pihak perempuan (matrilineal), tata cara pelamaran, perjodohan di Silungkang sampai ke perbedaan Kasta di Silungkang. Saya pikir yang ada plat No.nya itu cuman mobil, ternyata OrSil juga punya 3 jenis plat, yang plat N, plat T, dan plat L. Ongku juga menceritakan tentang slogan adat minang yang berbunyi “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai “.

Slogan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai” inilah yang akhirnya menjadi pemicu perdebatan antara saya dan Ongku. Saya pikir kalau slogan tersebut diartikan maka akan berarti: “Adat berdasarkan syariat Islam, syariat Islam berdasarkan Alquran, segala sesuatunya diatur berdasar syariat Islam dan pelaksanaannya dilakukan oleh adat.” Kalau adat berdasarkan Syariat Islam mengapa pelaksanaannya agak menyimpang dari syariat Islam?

Pertama, sistem matrilineal. Saya bertanya:” Kenapa urang minang (termasuk OrSil) menganut paham ini sebagai tolak ukur garis keturunan?” Jawaban Ongku; “Karena ada hadits yang mengatakan: “berbaktilah kepada Ibumu, Ibumu, Ibumu, kemudian ayahmu” maka dari itu keturunan sebaiknya dihitung dari garis ibu bukan ayah.” Saya bantah dengan menyebutkan bahwa di dunia ini suku yang menerapkan matrilineal tidak banyak, cuman sekitar 5 suku termasuk Minangkabau, lagi pula di AlQuran dalam surat Al Ahzab ayat 5 disebutkan: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ongkupun terdiam sambil berpikir.

Kedua, perjodohan di Silungkang. Saya bertanya: “ Kenapa OrSil diusahakan agar menikah dengan sesama OrSil?” Jawaban Ongku: “Karena OrSil telah menerapkan adat seperti itu sejak dahulu kala, tujuannya supaya bibit, bebet, bobot calon mempelai dapat diketahui dengan jelas, selama nikahnya masih beda kampung dan selama tidak satu garis keturunan Ayahnya dari masing2 pihak maka diperbolehkan”. Lalu saya bantah: “Kalo gitu apakah ada dalam AlQuran bahwa kita harus menikah dengan sesama OrSil? Setahu saya kita hanya diperintahkan untuk menikah dan kitapun bebas memilih siapa yang akan kita nikahi, nggak harus OrSil”. Ongku menjawabnya dengan berkata;” Tapi itu kembali jo ang, tasorah ka babakti ka urang tuo apo indak”. Saya pikir kalo setiap dibahas tentang ini terus kita dibilang pengen berbakti sama orang tua atau nggak, mana mungkin kita jawab nggak. Karena ridho Allah swt sama dengan ridho orang tua.

Ketiga, tentang kasta di Silungkang. Saya bertanya: “Kenapa OrSil dibedakan berdasarkan kasta-kasta?” . Jawaban Ongku: “Karena dulu di Silungkang terdapat beberapa pendatang yang datang belakangan menempati Silungkang, nah pendatang ini kemudian diakui oleh penduduk asli Silungkang sebagai bagian dari warga Silungkang namun dengan embel2 dan tingkat dari kadar keasliannya yang menyertainya sampai turun ke keturunannya”. Lalu saya tanya “Apa hubungannya antara warga yang duluan menempati Silungkang ataupun belakangan menempati Silungkang dengan kasta-kasta tersebut? Bukankah setiap orang dimata Allah swt adalah sama, yang membedakan adalah tingkat keimanan dan ketakwaannya”.

Sampai dipertanyaan ketiga ini rupanya habis sudah kesabaran Ongku. Saya di bosuik dengan kalimat:” Iko ang masih ketek, salemo olun tarapui, ala pandai malawan ka urang tuo, dasar anak kurang aja siapo nan maaja ang bakecek taka tuah?”. Akhirnya dengan rasa kecewa saya sudahi pembicaraan dengan Ongku. Dalam hati saya berkata: “ Nasib jadi cucu Urang Awak, baru diajak diskusi ajah dibilang palawan, mungkin karena pengaruh makanan yang besantan dan banyak lemak jadi kena darah tinggi deh”.

Kami melanjutkan kegiatan masing-masing, saya jalan ke balai mencigok apo nan lomak untuk diboli, sedangkan Ongku kembali ke kursi goyang kesayangannya sambil nonton TV.

CERITA DIATAS ADALAH FIKTIF BELAKA BILA ADA KESAMAAN NAMA DAN TEMPAT ADALAH MERUPAKAN HAL YANG DISENGAJA.

4 komentar:

rickyrizky mengatakan...

Aulia, seperti di jelaskan aul di milis. ternyata adanya kasta ini tergantung dari siapa lebih senior (lebih dulu datang di kampung) dan siapa yang belakangan. Bagus juga kalau memang tidak berdasarkan strata sosial ekonomi. Jadi bukan suatu pengkasttan berdasarkaan kekuatan ekonomi.
Hanya saja yang di sayangkan sekali, kenapa masalah kasta ini masih di bawa-bawa sampai dengan sekarang. Notabene, kalau ada bbrp teman atau saudara yang pernah di tegur, itu adalah otomatis suatau pembelajaran yang masih salah ke generasi penerus.
Jadi memang harus di rubah suatu pola pikir, bahwa pengkastaan adalah tidak benar (karena memang tidak berdsarkan syarak dan kitabullah) tapi hanya merupakan suatu "adat" yang "diadatkan".

Aul mengatakan...

Ralat ttg stratifikasi sosial di Silungkang (sumber Azhari Boerhan):

Adapun jumlah strata sosial di Silungkang adalah 5
(lima) yaitu :
1. Nandi (jempol) yaitu para "ningrat"
2. Urang babudi baiak (telunjuk): orang kebanyakan
3. Urang ijuak panoba (jari tengah) : orang yang
datang belakangan tapi "diambil" untuk memperbanyak
kaum.
4. Urang ditopi ai (jari manis) : orang datang
belakangan tapi ditempatkan diluar kaum
5. Urang dibawah lutuik (kelingking) : seperti yang
dijelaskan pak Prof. Amri. Disebut locia, kalau zaman
dulu kabarnya menyebut locia itu adalah melanggar adat
dan pelakunya dikenakan sangsi/denda, jadi tidak
sembarangan menyebut seseorang itu locia karena bisa
dituntut oleh yang disebut.

Demikian, mudah2 jelas.

For further detail please join in milist_silungkang@yahoogroups.com

iki_piye mengatakan...

MMMM.... Klo bapak gue Jawa...Berati Gue Locia donk ya? ASYIKK............Jari dan Jempol Tangan di goyang.........Klo Ibu Gue Orang Silungkang tapi ga tau dech bagian nya apa. Kampungnya? Lupa tuh.

Aul mengatakan...

dear mbah,

Pengkastaan ataupun stratifikasi sosial di Silungkang udah mulai diusahakan untuk di hapus, meski masih sering dibahas tapi hanya sebagai sharing pengetahuan saja. Kalaupun Bokap mbah orang Jawa setahu saya tidak pengaruh deh sama status keturunannya, soalnya yang plat L, N, T, dsbnya itu hanya berlaku bagi keturunan Silungkang yang kedua OrTunya adalah OrSil. Dan status mbah tetap mengikuti status dari Nyokapnya mbah, sesuai adat Minang yang menganut sistem matrilineal.

Wass,
Aul