Rabu, 12 September 2007

Aku Cinta Gadis Indonesia

Oleh : Rejak


“...Ku cinta gadis indonesia apapun sukunya

Tuhan menentukannya…”


Begitulah kiranya sepenggal bait dari lirik lagu salah satu grup band lawas Indonesia, SAS, yang berjudul Aku Cinta Gadis Indonesia. Mungkin bagi yang belum pernah mendengarnya pasti terkejut bahkan tergelak melihat judulnya yang terus terang dan tidak biasa. SAS yang di motori oleh Sunatha Tandjung, Arthur Kaunang, dan Syech Abidin, dalam albumnya yang berjudul Episode Jingga ini memberikan warna nasionalisme tersendiri pada lagu-lagunya, salah satunya adalah lagunya yang berjudul ’Aku Cinta Gadis Indonesia’ yang di letakkan pada nomor pertama alias pada urutan teratas dari keseluruhan lagunya dalam album Episode Jingga. Aku Cinta Gadis Indonesia memang merupakan judul yang universal dalam konteks keindonesiaan itu sendiri. Karena ’Indonesia’ itu berarti menunjukkan keberaneka ragaman suku, dari suku jawa, minangkabau, Aceh, Maluku, dan masih banyak lagi. Entah apa yang melatar belakangi mereka dalam membubuhkan kata ’Indonesia’ di akhir kalimat?. Tidakkah itu terlalu luas dalam pengertiannya?. Lalu, apa pula kiranya yang melatar belakangi mereka menciptakan lagu yang berbau nasionalis ini?. Ataukah mungkin karena di dasarkan oleh pengalaman pribadi sang vokalis plus bassis dari band tersebut, Arthur Kaunang, yang konon dahulu sewaktu belum bertobat gemar ’bertualang’ wanita?. Walau yang pada akhirnya karena kebiasaannya itu pulalah yang membawanya pada pertobatan. Ataukah lagu ini sekedar kekaguman mereka terhadap keberaneka ragaman suku di Indonesia?. Kita dapat melihatnya melalui berbagai sudut pandang.


Irama lagunya yang pelan dan sedikit mendayu namun tidak cengeng sanggup memberikan spirit bagi siapa pun yang mendengarnya, terutama kaum adam, ataupun para nasionalis yang melihat hilangnya ’keidentitas dirian’ pada manusia-manusia yang hidup di Indonesia. Sebenarnya lagu ini hendak menjelaskan tentang identitas diri bangsa Indonesia itu sendiri. Memang sulit menemukan satu identitas penuh di tengah keberagaman suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, belum lagi bila sudah terpenetrasi oleh budaya-budaya luar yang lalu menciptakan identitas baru bagi masyarakat tersebut yang akhirnya menjadikan kebudayaan kontemporer. Karena itu dapat di maklumi bila dulu Bung Karno pasca kemerdekaan Republik Indonesia melarang masuknya kultur-kultur barat, salah satunya adalah musik ngak ngik ngok, karena Bung Karno paham betul bahwa bangsa ini belum lagi menemukan identitasnya, begitulah yang di katakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku tanya jawab dengannya yang berjudul ’Saya Terbakar Amarah Sendirian’. Lalu pada era orde baru segala hal yang berbau barat dengan bebasnya dapat masuk ke dalam negeri yang waktu itu masih berusia seumur jagung. Segala bentuk hiburan masuk ke dalam negeri ini tanpa di saring, terutama melalui televisi. Jadilah akhirnya masyarakat Indonesia ini terlena oleh segala macam hal yang berbau hiburan-hiburan yang di suguhkan oleh Barat, dan dari sini asal muasalnya adanya budaya permisif di kalangan masyarakat Indonesia.


Adanya lintas budaya yang berlalu lalang di negeri ini yang di akibatkan oleh sistem yang di berlakukan warisan orde baru membuat kita mau tak mau harus membuka mata dan melihat kenyataan yang ada. Modernisme yang selalu di identikkan dengan segala hal yang berbau barat menjadi pilihan sebagian besar anak-anak muda Indonesia untuk di ikuti dan di gandrungi. Salah satunya adalah scene musik Rock n Roll, Punk, Heavy Metal, J-Rock, Jazz dan lain-lain. Lalu ada lagi kultur barat yang masuk ke negeri ini seperti pergaulan bebas, drugs, alkohol berikut paham kapitalismenya. Semuanya itu menyamarkan identitas murni dari bangsa Indonesia itu sendiri, sehingga apa yang kita lihat saat ini bukan lagi sekedar warisan nenek moyang lagi, karena semuanya kini telah membaur menjadi satu dan menciptakan satu identitas baru bagi masing-masing individu.

Di tengah zaman yang semakin gila ini, dan peradaban yang sudah ikut sedemikian gilanya, ada beberapa dari mereka yang memilih untuk ’melarikan diri’ dari zaman, hingga ada dari mereka yang memilih untuk berdandan Punk berikut penjiwaannya, ataupun J-Rock. Semuanya itu mereka lakukan paling tidak untuk memilih jalan yang lebih terstruktur di tengah zaman yang penuh ketidak jelasan ini. Maka itu jangan kaget bila ada beberapa urang awak yang berdandan ala Punk, Metal, J-Rock atau bahkan anak-anak muda yang berdandan retro. Tak ada bisa protes, bahkan orang-orang tua mereka, karena mereka (si anak ini) melihat sendiri dengan mata kepala mereka betapa mengerikannya dunia yang kini di tengah jalaninya. Tidak sesimpel cerita-cerita orang-orang terdahulu yang pernah di ceritakan kepada mereka sewaktu kecil.


Kembali lagi pada lagu SAS, Aku Cinta Gadis Indonesia yang konteks keindonesiaan dalam lirik lagu ini di tunjukkan oleh penggambaran karakter gadis dari setiap suku yang ada di Indonesia walaupun tidak semua. Dalam lagunya, SAS mencoba menjelaskan karakter asli gadis di tiap-tiap suku di Indonesia semenarik mungkin dengan lirik yang jujur dan polos. Seperti sepenggal liriknya berikut ini :

”...Ku jumpa gadis Jawa

Lembut Manis bersahaja

Tertawan hati ini

Gadis Aceh Soleh

Taat beribadah

Tapanuli tegas

Kukuh serta jujur...”


Akan tetapi masih relevankah apa yang di katakan oleh SAS dalam liriknya di atas dengan konteks keindonesiaan di zaman sekarang ini?. Jangankan mereka yang di Jakarta, bagi mereka yang berada di asalnya pun sudah tidak lagi mewarisi budaya aslinya. Benarkah gadis-gadis Aceh masih banyak yang taat beribadah?. Benarkah gadis-gadis jawa masih banyak lembut dan bersahaja?. Semuanya masih bisa di pertanyakan bila di daerah tempat yang mereka tinggali mengenal apa itu yang namanya televisi. Anak muda mana yang kini tidak mengenal MTV ?, sebuah ikon anak muda masa kini yang menyuguhkan kultur-kultur modern anak muda dari luar (kebanyakan Barat). Maka itu jangan kaget bila gadis-gadis soleh zaman sekarang gemar berpakaian ketat, kelihatan pusarnya dan paha atau bahkan menyembulkan buah dadanya dalam berdandan, atau dengan kata lain, ’Sholat 5 waktu, dugem jalan terus!”.


Bila dulu langgar/mushola atau mesjid sebagai kegiatan mereka dalam melakukan ritual baca Al Quran atau pun mendengarkan ceramah Ustadz, kini di gantikan oleh kegiatan jalan-jalan ke Mall, nongkrong, nonton bioskop, ataupun dugem. Kegiatan ciuman, pegang-pegangan dan hubungan badan yang dulunya tabu kini sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan anak muda. Sebaliknya kegiatan seperti mengaji, sholat, mendengarkan ceramah ustadz malah menjadi sesuatu yang tabu di kalangan remaja. Coba lihat, ada berapa banyak gadis di Indonesia (dari suku apapun) yang belum pernah berhubungan badan dengan kekasihnya?. Jika begitu, makna dalam lirik SAS tersebut justru menjadi absurd bila di sesuaikan dengan konteks keindonesiaan sekarang ini. Karena sudah hampir tidak ada lagi gadis-gadis Indonesia yang alim, ulet, jujur, rajin, hemat ataupun bersahaja tanpa terbawa arus zaman dan masih tetap keukeuh pada kultur aslinya. Sama halnya dengan ’pelarian diri’ anak-anak muda dalam menemukan kembali identitasnya, mungkin SAS dalam lagunya ini hanya berusaha untuk mengembalikan karakter gadis indonesia secara tekstual dan strukturalis karena telah lelah melihat keedanan zaman, sekaligus promosi ’gadis Indonesia’ yang dalam konteks keindonesiaan saat ini tetap menjadi sebuah utopia. Sampai kapankah kita berpikiran gadis dari daerah asal sendiri adalah yang terbaik?. Sedangkan SAS walaupun dengan ’tangisan keputus asaannya’ akan realita masih bersuara lantang menawarkan keberagaman gadis dari berbagai suku dengan ’keberjuta ragaman’ karakter kontemporernya untuk ’di nikmati’ kaum adam.


”...Wajahnya mempesona

Gayanya menggemaskan

Kau gadis Indonesia...”

4 komentar:

Tomi mengatakan...

kl aku liat dari potongan lirik nya seperti mempromosikan gadis indonesia untuk dikirim keluar negri. (yang nyanyi bukan PJTKI kan hehehe..)
menurut aku nasionalisme hampir serupa dengan sukuisme hanya teritorinya saja yang beda.
saat ini nasionalisme tak lebih dari sebuah jargon untuk keuntungan para penguasa. belalah negaramu (negara = pemerintah = penguasa)
sebagai mantan PASKIBRA aku tau betul bagaimana cara pandang Aparat mengenai Nasionalisme. Prosesi cium bendera (cuihh...), mengunakan pangkat dengan dada busung
lalu kemudian mengajarkan kami cara menjilat atasan dan mengusir kaki lima (cuihh.. lagi). Maaf agak tentensius sama aparat.
nasionalisme hanya akan mengurung kita kedalam tempurung yang lebih besar yaitu dari sabang sampai marauke ( gede juga ya..)
yang kita butuhkan adalah nilai nilai kebajikan dari mana aja (toh Islam bukan dari Indonesia), telepas dari teritori yang mengukung

satu hal lagi,
gadis Jawa tidak harus selalu lembut dan bersahaja, tapi juga soleh dan taat beribadah
gadis aceh tidak hanya taat beribadah, tetapi harus tegas dan jujur
gadis tapanuli tidak harus tegas dan kukuh, tapi bisa lembut dan bersahaja
yang di tonjolkan bukan ciri kedaerahan tapi nilai2 kebajikannya ini ciri masyarakat yang telah menemukan jati diri.

ngomong2 ciri gadis silungkang kayak apa ya

rickyrizky mengatakan...

Brooo tomi .. bagus nih .. TOP

sumbang artikel juga dong .. tinggal kirim emai lke si reajk tuh

Gonang Winarno mengatakan...

Namun satu yang gak berubah dari gadis silungkang....
masakan nya tetep mak nyooosssss.....

iki_piye mengatakan...

BERARTI JAK, LO MAU DONK SAMA GADIS BERSUKU AMBON ATAU IRIAN !!!
HAHAHAHAHAHA.............!!!!