Oleh : Rejak
Membawa suatu suku ke dalam sebuah peradaban baru agar tidak sekedar menjadi pameran miniatur di museum adalah bukan tugas yang mudah bagi para urang awak sekalian. Di perlukan suatu keberanian dalam berpikir dan melakukan terobosan-terobosan baru. Di sinilah tanggung jawab kita para pemuda yang mengaku dirinya cinta akan Silungkang dalam berperan membawa suku tercinta kita ke abad milenium ini ke dalam kemajuan. Sama halnya seperti bagaimana masuknya agama Islam ke tanah Jawa yang di bawa oleh walisongo, yakni dengan metode yang bagus, yakni secara kultural. Sunan Bonang menyebarkan Islam melalui kesenian-kesenian Jawa seperti Gending, lalu menciptakan lagu ’Tombo Ati’. Sunan Kalijogo menciptakan tembang ’Baju Takwa’ yang lebih di kenal sebagai ’Lir Ilir’ di mana musiknya tidak tercium arab-arabnya sama sekali, lalu beliau juga berdakwah lewat pertunjukkan wayang. Para wali tersebut menyadari bahwa untuk menyebarkan agama Islam hingga bisa di terima sampai ke seluruh Jawa perlu melakukan pendekatan kultural. Seandainya para wali keukeuh membawa Islam dalam wadah arabismenya, maka bisa di pastikan masyarakat Jawa saat itu malah antipati terhadap budaya asing yang tiba-tiba datang tersebut. Penyebaran Islam melalui metode kultural itu akhirnya berhasil di lakukan selain memang Islam sendiri memiliki daya tarik dari segi kemudahan dalam masuk ke dalamnya dan tidak adanya sistem pengkastaan di dalam Islam. Alhasil penduduk jawa sebagian besar pun memeluk agama Islam dalam jangka waktu bertahap.
Yang bisa di pelajari dari kasus di atas adalah, bagaimana para wali tersebut membawa suatu ideologi yang identik dengan kearaban, lalu melepaskan kultur-kultur kearaban itu dari ideologi tersebut dan menyebarkannya ke tanah Jawa dengan cara menyesuaikan kultur setempat. Jadi, seakan-akan mereka tidak sekedar memindahkan karung berisi bibit ke Jawa, tetapi juga menyebarkan bibit-bibit tersebut ke seluruh tanah Jawa. Tentunya hal ini lebih efektif ketimbang tidak melakukan apa-apa pada sekarung bibit yang telah berpindah tempat tersebut. Walaupun para wali itu hidup ratusan tahun lalu dari zaman kita saat ini, namun pemikirannya mampu melampaui zamannya sendiri bahkan zaman kita hidup saat ini.
Kita pemuda Silungkang pun bisa mengambil pelajaran dan bahkan mengembangkan metode kultural seperti yang di terapkan oleh para wali itu. Bila yang selama ini di lihat, PKS di Jakarta ini tak lebih dari sekarung bibit yang hanya di pindahkan saja ke daerah baru, tetapi isi karung tersebut tidak di tebar ke seluruh penjuru tanah agar tumbuh pepohonan ataupun sayur-sayuran. Entah sayang atau tidak berani, namun yang jelas inilah yang terjadi bila bibit-bibit tersebut di biarkan dalam karung terus-menerus. Tiada kegiatan selain berkelahi sendiri lantaran mendebatkan hal-hal sepele di sebuah gedung kebanggaan PKS yang tak ubahnya adalah simbolisasi chauvunisme, anti sosial, dan kekolotan. Silungkang seharusnya bagaikan agama Islam yang ’universal’, dalam arti : Islam yang di sebarkan oleh Walisongo. Mampu melebur ke dalam kultur-kultur, tentunya juga tanpa kehilangan substansi kesilungkangannya itu. Contoh lainnya lihatlah bagaimana bangsa Yahudi bisa maju seperti saat ini. Mereka mau tidak mau berpencar ke berbagai daerah dan ikut melebur ke dalam kulturnya hingga bisa seperti saat ini. Konon sebagian besar yang duduk di pemerintahan Amerika adalah orang-orang Yahudi.
Tetapi mengapa orang-orang Silungkang ini tidak mau melihat apa yang terjadi di sekitar mereka?. Mereka lebih sibuk berteori dan terus berteori tanpa kenal lelah, malahan ada yang pernah menantang untuk mengadu konsep segala. Mereka memandang remeh generasi-generasi mudanya yang dijamin 100% lebih tahu akan problem sosial yang terjadi di zaman sekarang ini ketimbang para orang tua itu. Pemikiran-pemikiran usang yang tradisionil masih di anut oleh sebagian besar warganya yang tinggal di Jakarta. Sebagai contoh, yang sempat menjadi perdebatan adalah acara anak-anak muda Silungkang, yakni lomba PS2 harus di hentikan karena ada acara orang-orang tuanya, yakni KIM dan GAMAD. Di sini seolah masih menandakan orang tua masih belum bisa menerima kultur anak muda zaman sekarang.
4 komentar:
Dalam satu diskusi di milis, ada seorang anggota tercetus untuk mengganti budaya silungkang ...hemmm kalau menurut saya, biarkanlah budaya tetap sebagai acuan sejarah kita yang akan kita kenang dan pembelajaran. Yang terpenting adalah pola pemikiran personal yang bisa dirubah. Sedikit rasa kecew munncul di saat, munculnya generasi dua yang mencetuskan usulannya bahwa orang silungkang asli adalah yang bapk ibunya silungkang. Seandainya ini tetap dipertahankan, jangan terkejut jika suatu saat bibit dalam karung akan habis hanya disebar namun tidak pernah di sirami atau di tuai hasilnya. Banyak generasi dari yang bukan asli 100% silungkang, mungkin akan lebih bisa berkarya ddi perkumpulan silungkang. Atau mungkin ilmu yang mungkin berbeda akan menjadi knowledge baru bagi kita. Mudah mudahan wacana ini akan menjadi suatu hal yang baru bagi perkumpulang silungkang baik di silungkang ataupun di rantau.
sebenarnya seperti ini, biarkan tradisi sebagai pondasi saja. Ibarat roda yang diciptakan oleh orang sumeria. Roda merupakan karya cipta yang luar biasa yang pernah terlahir di dunia ini, karena roda melambangkan gerak dinamis yang tidak berhenti. Nah dari roda yang diciptakan bangsa sumeria tersebut terciptalah teknologi-teknologi lain yang menggunakan roda. Revolusi industri tidak akan tercipta tanpa adanya roda. Semua teknologi di dunia ini terinspirasi atau bahkan menggunakan roda. Bukan maksudnya mengganti budaya, tetapi mengembangkan. Karena bila orang ingin menciptakan lagi sesuatu yang baru selain roda, bisa di bilang maka dia kembali lagi ke 0. Tidak ada penemuan jenius di dunia ini kecuali roda.
Begitu juga dengan tradisi. Seharusnya kita berpikir bagaimana meramu tradisi ini sedemikian rupa hingga cocok di segala sektor kehidupan di peradaban kontemporer ini. Nah, bila tradisi silungkang ingin menjadi seperti evolusi roda, maka yang harus di rubah di kalangan orang-orangnya adalah pemikirannya terlebih dahulu.
benar ... jika tradisi atau adat menggelinding bak roda, maka dia akan berevolusi terus dan mengikuti perkembangan jaman. Hanya saja yang kurang di pahami adalah masalah priritas jenis tradisi yang mana yang harus dipertahankan dan mana yang bisa berevolusi. Banyak yang hanya berpikiran -- tradisi tidak akan pernah berevolusi tentunya dia kana tetap jaya di kalangan mereka yang berpikiran sama dengannya. Pertanyaannya kembali, berapa banyak yang berpikiran sama dengannya?
Kalau saya menganut paham "Mangan ora mangan sing penting ngumpul"
Posting Komentar